BAB
I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, pernikahan adalah proses penyatuan antara dua individuyang berasal dari latar belakang yang berbeda dan memiliki kepribadian yangberbeda. Pernikahan juga menuntut adanya penyesuaian antara dua keluarga.Proses penyatuan tersebut membutuhkan persiapan dan kesiapan dari keduapasangan suami istri beserta keluarga mereka.Perbedaan-perbedaan dalam pernikahan sering menimbulkan pertengkaranantar suami istri. Munculnya berbagai permasalahan dalam pernikahan, sepertiperselingkuhan, masalah anak, masalah ekonomi, masalah seks, dll, juga dapatmengguncangkan sebuah pernikahan. Saat pernikahan mulai terguncang,pasangan suami istri dihadapkan pada dua keputusan sulit, yaitu tetapmempertahankan pernikahan atau bercerai.Perceraian dipilih saat pasangan suami istri merasa sudah tidak dapat lagimempertahankan pernikahan mereka. Perceraian ini tentu saja akan mengubahkehidupan suami istri, dan juga anak-anak mereka. Konsekuensi perceraian yangmenyentuh berbagai macam aspek kehidupan harus dihadapi oleh pasangan yangbercerai. Oleh karena itu, melalui makalah ini, penulis akan membahas mengenaiperceraian.
BAB
II
PEMBAHASAN
Psikologi anak-anak korban
perceraian
Memang ada pandangan psikologi
mutakhir yang menyatakan orang bisa hidup lebih bahagia setelah bercerai. Bahwa
perceraian bukan akhir kehidupan suami istri. Namun, orangtua yang bercerai
harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak mengatasi penderitaan akibat
ayah Ibunya berpisah.
Dari
waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya terus meningkat. Maraknya tayangan infotainment di televisi yang
menyiarkan parade Artis Dan public figure yang mengakhiri perkawinan mereka
melalui meja Pengadilan, seakan mengesahkan bahwa perceraian merupakan tren.
Sepertinya kesakralan Dan makna perkawinan sudah tidak lagi berarti. Pasangan
yang akan bercerai sibuk mencari pembenaran akan keputusan mereka untuk
berpisah. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada Yang bakal sangat
menderita dengan keputusan tersebut, yaitu anak-anak.
Namun,
fenomena perceraian marak terjadi bukan hanya di kalangan artis atau public
jIgure saja. Di dalam keluarga sederhana, bahkan di dalam Lingkungan pendidik,
lingkungan yang tampak religius, perceraian juga Banyak terjadi. Salah satunya terjadi pada
Pak Edy (bukan nama sesungguhnya) ,
Sambil
bertanya, sekilas ia menjelaskan kesulitannya mengasuh anak satu-satunya yang
berusia empat tahun. Doni, nama anak itu, menjadi sangat nakal dan tidak mau
ditinggal bekerja oleh ayahnya. Di akhir Cerita, Pak Edy baru mengaku bahwa ia
telah berpisah dengan istrinya karena ketidakcocokan.
Pada
kisah lainnya, Ayu, bocah berumur delapan tahun, mengalami perubahan sangat
memprihatinkan setelah orangtuanya bercerai. Ayu enggan berangkat ke sekolah.
Sebab, di lingkungan dia belajar itu banyak temannya yang bertanya-tanya
tentang kasus perceraian orangtuanya.
Ayu
menjadi malu, merasa dirinya sangat buruk karena memiliki orangtua yang
bercerai. Dalam hati Ayu juga merasa marah kepada ayah dan ibunya kenapa mereka
sering bertengkar dan saling marah. Akibatnya, sulit baginya mengharapkan bisa
bepergian sekeluarga ke mal atau keluar kota untuk berlibur, seperti yang
dialami teman-temannya.
Sejak
perceraian itu semangat belajar Ayu menurun drastis, Sehingga nilai rapornya
pun merosot. Anak yang tadinya gembira dan ceria itu berubah diam, pasif, dan
murung, dengan badan yang juga semakin kurus.
Reaksi
Berbeda
Seperti yang terjadi pada Doni Dan
Ayu, perceraian selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang
menggoreskan luka batin yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama
anak-anak.
Sekalipun
perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai Oleh orangtuanya,
namun tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak mereka.
Reaksi
anak berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya. Semua tergantung pada umur,
intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung sebelum terjadi perceraian.
Setiap
anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang berbeda-beda.
Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah atau
remaja biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu.
Mereka juga merasa khawatir terhadap akibat buruk yang akan menimpa mereka.
Bagi
anak-anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan
kehidupan mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa
cemas terhadap kehidupannya di masa kini dan di masa depan. Anak-anak yang
ayah-ibunya bercerai sangat menderita, dan mungkin lebih menderita daripada
orangtuanya sendiri.
Akibat
Emosional
Dalam
suatu perceraian, orangtua mencurahkan seluruh waktu dan uangnya untuk saling
bertikai mengenai harta, tunjangan uang yang akan diberikan suami setelah
bercerai, hak pemeliharaan anak, dan hak-hak lain.
Sementara
itu, mereka hanya mencurahkan sedikit waktu atau usaha untuk mengurangi akibat
emosional yang menimpa anak-anaknya. Pengacara yang terlibat dalam perceraian
tersebut, sesuai tugasnya memang hanya memfokuskan diri pada masalah hukum
saja. Biasanya mereka kurang memperhatikan akibat emosional pada diri anak-anak
yang jadi Korban dalam peristiwa perceraian tersebut.
Mereka
umumnya kurang ikut memikirkan bagaimana memberikan konseling Kepada kliennya,
dalam hal ini orangtua yang mau bercerai, tentang cara-cara terbaik dalam
membantu anak-anak mengatasi dan menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.
Walaupun
orangtua telah berusaha menyelesaikan perceraian dengan hati-hati dan damai,
tidak Ada cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari akibat negatif
terhadap anak-anak. Oleh karena itu, menjadi penting bagi orangtua yang dalam
proses Perceraian untuk sebaik mungkin mengambil usaha-usaha khusus untuk
Meminimalkan penderitaan dan kesusahan anak-anaknya. Ini membutuhkan perhatian
dan usaha aktif dari pihak orangtua.
Sampai
Dua Tahun.
Umumnya
anak-anak yang orangtuanya bercerai dilanda perasaan-perasaan kehilangan
(hilangnya satu anggota keluarga: ayah atau ibunya), gagal, kurang percaya
diri, kecewa, marah, dan benci yang amat sangat.
Richard
Bugeiski Dan Anthony M. Graziano (1980) menyatakan bahwa dua tahun pertama
setelah terjadinya perceraian merupakan masa-masa yang amat sulit bagi
anak-anak. Mereka biasanya kehilangan minat untuk pergi dan mengerjakan
tugas-tugas sekolah, bersikap bermusuhan, agresif depresi, dan dalam beberapa
kasus Ada yang bunuh diri.
Anak-anak
yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat
perceraian tersebut seperti insomnia (sulit tidur), kehilangan nafsu makan, dan
beberapa penyakit kulit.
Riset
menunjukkan, setelah kira-kira dua tahun mengalami masa sulit dengan perceraian
orangtuanya, sampailah anak-anak tersebut ke masa keseimbangan atau masa
equilibrium. Di masa itu, kesusahan dan penderitaan akut yang mereka alami
sejak terjadinya perceraian mulai berkurang.
Anak-anak
telah belajar menyesuaikan diri dan melanjutkan kehidupan mereka. Namun,
perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka.
Selain beberapa dampak di atas, dalam beberapa kasus terjadi anak yang
orangtuanya bercerai, pada saat dewasa, menjadi takut untuk menikah.
Dia
khawatir perkawinannya nanti akan mengalami nasib yang sama seperti
orangtuanya. Kasus yang lain, anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa
jadi membenci laki-laki atau perempuan karena menganggapnya sama dengan ayah
atau ibunya yang telah menghancurkan keluarganya.
Yang
Perlu Dilakukan.
Sangat
sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa
sulit karena perceraian orangtuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha
memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak
dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya.
Beberapa
psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh
orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak
bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus
ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya.
Hal
lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu
anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan
rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang
sedang cekcok serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses
perceraian tersebut.
Hal
lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti
tante atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka
setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa
mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah
ibu yang tidak lagi hadir seperti
ketika belum ada perceraian.
ketika belum ada perceraian.
BAB III
KESIMPULAN
Sikologi pada anak yang kedua
orang tuanya bercerai sebagian besar akan mengalami perubahan emosional yang
cukup besar, anak akan lebih temperamental dan bahkan bisa menjadi orang yang
anti sosial. Mereka
biasanya kehilangan minat untuk pergi dan mengerjakan tugas-tugas sekolah,
bersikap bermusuhan, agresif depresi, dan dalam beberapa kasus Ada yang bunuh
diri. Anak-anak yang orangtuanya bercerai
menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti
insomnia (sulit tidur), kehilangan nafsu makan, dan beberapa penyakit kulit.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/76301673/LATAR-BELAKANG-PERCERAIAN
Danpak Perceraian Pada Sikologis Anak